Kamis, 25 November 2010

Mahasiswa dan Kearifan Lokal

Bagaimana kondisi sosial bangsa kita saat ini?
PERKEMBANGAN sosial saat ini – yang lazim termasuk dalam era global – pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi. Pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri.

Fragmentasi global yang kekuataannya tak terelakkan tersebut di satu sisi justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan budaya (cultural shock). Hal itu terjadi dengan adanya ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan sosial yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Kebudayaan yang masuk ke suatu masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, kondisi seperti inipun juga dapat menimbulkan keguncangan budaya.
Agitasi media, terutama televisi nyaris menjadi kekuatan yang tak bisa dihindari. Tayangan televisi telah menjadi bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari sebuah habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu yang kemudian menjadi objek dan subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah membangun hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks politik, ekonomi, dan kultural. Teknologi komunikasi itu seolah menelusup dari ruang publik ke setiap individu hingga ruang-ruang privasi. Kita didorong untuk masuk dalam lorong waktu dan perisitiwa yang nyaris tak terbatas, sejalan juga dengan tanda-tanda yang makin rumit dan tak terbatasi.

Bagaimana kearifan lokal dijadikan model pendidikan?

Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional.
Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan kebudayaan bangsa di atas dasar identitas sejumlah etnik yang mewarnai Nusantara ini.
Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Oleh karena itu, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk terus menggali dan ”memproteksi” kearifan lokal yang terdapat pada setiap etnik lokal lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya melalui pendidikan baik formal maupun informal.
Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal melalui pendidikan budaya niscaya manusia didik (siswa dan mahasiswa) diharapkan tidak terperangkap dalam situasi keterasingan. Atau menjadi “orang lain” dari realitas dirinya dalam pengertian “menjadi seperti (orang lain)”. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi sosial budaya.
Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya “lain”. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.
Dari sinilah pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dikatakan adalah model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada pemberdayaan ketempilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Materi pembelajaran harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata, berdasarkan realitas yang mereka hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, minat, dan kondisi peserta didik. Juga harus memerhatikan kendala-kendala sosiologis dan kultural yang mereka hadapi. Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi.

Bagaimana mengoptimalkan peran mahasiswa?
Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu. Kita mengakui bahwa gerakan mahasiswa telah menjadi fenomen penting dalam perubahan politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998.
Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat berpendidikan dan sehari-harinya bergelut dengan pencarian kebenaran dalam kampus melihat kenyataan yang berbeda dalam kehidupan nasionalnya. Kegelisahan kalangan mahasiswa ini kemudian teraktualisasikan dalam aksi-aksi protes yang kemudian mendorong perubahan yang reformatif dalam sistem politik di Indonesia.
Pasca reformasi ini eksistensi mahasiswa menghadapi tantangan berbeda. Globalisasi menuntut kreativitas dan peran mahasiswa yang tidak hanya sekadar berbekal militansi semata. Reoreintasi peran mahasiswa juga patut dikedepankan. Kendati setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control takkan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan takkan usang walau ditelan zaman.
Rakyat masih memerlukan sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa, bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa merupakan iron stock bangsa dan negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang kerapkali diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin di masa yang akan datang.
Tak terkecuali ketika kita ingin mengedepan kearifan lokal melalui dunia pendidikan, maka reorientasi peran mahasiswa menjadi sangat penting. Apalagi, eksistensi mahasiswa pada dasarnya mempunyai empat peran, yakni peran moral, sosial, akademik, dan politik. Mahasiswa memang tak bisa menafikan terjangan gelombang globalisasi, namun menemukan jati diri yang selama ini menjadi akar dan identitas merupakan peran meski terjaga. Motivasi menggali kearifan lokal bisa jadi merupakan upaya menemukan identitas bangsa yang selama ini selelu berproses.

Tidak ada komentar: