Kamis, 25 November 2010

Memandang DUNIA Secara HITAM-PUTIH Atau ABU-ABU

Melihat dunia ini dengan kacamata ‘hitam-putih’—dengan pilihan yang jelas (dan mudah)—ATAU ‘abu-abu’, bisa mempengaruhi perjalanan hidup seseorang: mulai dari lingkup pekerjaan, hubungan dengan lawan jenis hingga kandidat politisi yang dia pilih, kata para peniliti.

Memandang Dunia Secara Hitam-Putih atau Abu-abu

Saat cari alat pendingin laptop di Rimo (Denpasar), di counter dimana saya rencananya membeli alat tersebut, saya terpaksa harus menunggu hingga sepasang suami-istri selesai bertengkar.

Pertengkaran kecil itu terjadi setelah yang laki-laki meminta pelayan toko membongkar kembali speaker yang telah dibungkus kardus, lalu pilih-pilih lagi. Sangat jelas, itu bapak dalam kebimbangan yang luar biasa.

Bisa saya mengerti karena barang elektronik rata-rata harganya mahal—perlu hati-hati dalam menentukan pilihan. Tetapi pada saat kehati-hatian itu berubah menjadi kebimbangan yang tak berujung, rasanya itu menjadi kontra-produktif.

Apakah anda tergolong peragu atau cenderung ekstrim dalam menentukan suatu pilihan atau memutuskan sesuatu?

Melihat Dunia Dengan Pandangan Hitam-Putih

Pola pikir ‘Semua-atau-tidak samasekali’ atau lebih populer disebut pola pikir ‘hitam-putih’ adalah cara berpikir ekstrim yang sering menimbulkan emosi dan prilaku ekstrim juga.

Seseorang dengan pola pikir ‘hitam-putih’ akan melihat apakah dirinya dicintai atau dibenci; apakah sesuatu itu sempurna atau buruk; apakah dia harus bebas dari tanggung-jawab atau pihak yang paling bertanggung jawab terhadap suatu kesalahan.

Melihat Dunia Dengan Kacamata Hitam-Putih

Banyak diantara kita sering terjebak ke dalam kencenderungan berpikir seperti ini.

Contoh:

Saya masih ingat, masa-masa kuliah dahulu. Salah satu teman kuliah saya begitu terpukul dan berniat untuk berhenti kuliah hanya gara-gara dia memperoleh nilai C untuk mata kuliah ‘Auditing.’

Saat saya tanya mengapa dia berniat untuk berhenti kuliah hanya gara-gara memperoleh nilai C? Dia mengatakan, percuma dapat C, kalau memang lulus harus A. Bagi saya yang hanya memiliki otak pas-pas-an, nilai C-pun okelah ya, daripada tidak lulus dan harus mengulang.

Contoh lain:

Saat memilih calon kelian banjar atau kelian adat atau kepala desa atau bupati, seseorang yang melihat dunia ini dengan kacamata hitam-putih, akan mencari figur calon yang sempurna.

Baginya, hanya ada dua macam calon: calon yang sempurna dan calon yang buruk. Kenyataannya? Jika mau jujur, sangat sulit untuk menemukan seuatu yang sungguh-sungguh sempurna di dunia ini—apalagi sosok manusia sempurna. Manusia yang buruk samasekalipun rasanya juga tidak bisa kita temukan.

Calon A, mungkin dia sangat merakyat, tetapi dia mantan preman. Calon B, bukan preman tetapi jarang peduli dengan lingkungan (hanya ramah saat kampanye.) Calon C, cukup ramah, bukan mantan preman, tetapi dicurigai menggunakan ijasah bodong.

Dalam kondisi seperti ini, tak satupun calon kelian banjar yang berkenan di hati mereka yang menggunakan kacamata hitam-putih. Mereka akan dengan cepat memutuskan untuk tidak memilih samasekali—menjadi golput.

Sebagai penyeimbang, mari lihat bagaimana cara kerja sebuah thermometer. Tentu semua orang sudah tahu apa itu thermometer—alat pengukur suhu. Termometer menunjukkan suhu dengan derajat, TIDAK secara ekstrim ‘DINGIN-atau-PANAS

Kecenderungan berpikir secara ‘hitam-putih’ seringkali menghalangi usaha-usaha dalam pencapaian tujuan hidup karena menghilangkan ruang kompromi untuk “salah/keliru’, padahal ruang salah/keliru selalu dibutuhkan.

Bagi seorang PENJINAK BOMB, tentu tidak perlu (memang tidak disediakan) ruang untuk keliru (salah memotong kabel detonator). Tetapi bagi kita yang berprofesi lain, butuh banyak ruang kompromi untuk keliru/salah.

Melihat Dunia Secara Abu-Abu

Orang yang sering mengalami bimbang dalam menghadapi suatu pilihan—orang yang memakai pandangan abu-abu—memiliki sesuatu yang para psikolog sebut sebagai ambivalence. Di Indonesia orang biasa menyamakan ambivalence dengan sikap ‘mendua’ (identik dengan ‘plin-plan‘.)

Melihat Dunia Dengan Kacamata Abu-abu

Contoh:

Ada berapa banyak pemimpin di lingkungan anda, atau pemimpin di negeri ini, dalam lingkup yang lebih luas, yang cederung bersikap ambivalence? Saya yakin anda bisa menemukan centohnya dengan mudah bahkan dalam jumlah yang banyak.

Dunia politik adalah dunia ambivalence. Sudah alamiahnya seorang politisi melihat segala-sesuatu dengan kacamata abu-abu. Bukankah banyak orang mengatakan “tidak ada yang pasti dalam dunia politik”?

Tetapi, manakala seorang politisi terpilih menjadi pejabat pemerintah, menjadi pelayan rakyat di dunia demokrasi, mestinya sikap ambivalence ini sudah harus dihilangkan. Saat harus memilih mensejahterakan rakyat, mustinya sudah tidak ada ruang lain yang tersedia untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Contoh lainnya, seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan.
Jeff Larsen, seorang rofessor psikologi dari Texas Tech University mengatakan:

Secara keseluruhan, berpikir dengan cara abu-abu pada porsi sesuai (tidak berlebihan) adalah cerminan dari kedewasaan, dapat membuat kita mampu melihat dunia ini sebagai mana adanya—yang memang rumit!

Jika tidak memperoleh jawaban atas keraguan dan kembimbangannya, mereka yang tergolong ambivalence, cenderung menunda—bahkan jika boleh—memilih untuk tidak mengambil keputusan, contohnya: apakah mengambil suatu pekerjaan atau tidak“, kata Frenk van Harreveld (seorang sosiolog dari Universitas Amsterdam).

Sementara mereka yang melihat segala sesuatu dengan pandangan hitam-putih biasanya merasa tertekan jika dihadapkan dengan ketidakpastian, mereka yang berpandangan abu-abu justru merasa nyaman dalam ketidakpastian.
Menurut hasil penelitian-penilitian yang telah dipublikasikan, karakter hitam-putih dan abu-abu ini bisa dirangkum sebagaiberikut:

Mereka yang melihat dunia ini dengan pandangan ‘HITAM-PUTIH‘, cederung:

  • Lebih cepat dalam mengambil keputusan (dalam kondisi ekstrim, cenderung terburu-buru)
  • Jalan pikiran dan keputusan yang diambil mudah ditebak
  • Jarang mengkhawatirkan (menyesali) keputusan yang diambil
  • Kurang sanggup dalam menjalani suatu hubungan yang pelik (lebih mudah mengambil keputusan bercerai)
  • Sulit menghargai sudut pandang yang berbeda.

Sedangkan mereka yang melihat dunia ini dengan pandangan ‘ABU-ABU‘, cenderung:

  • Menunda—bahkan tidak—mengambil keputusan
  • Sering menyesali keputusan yang telah dimbilnya
  • Sungguh-sungguh berpikir sebelum menentukan pilihan yang tepat
  • Mampu bertahan lebih lama dalam suatu hubungan yang rumit (walupun mungkin sering disakiti)
  • Bisa menghargai sudut (cara) pandang yang berbeda.

Apakah anda melihat dunia ini secara ‘HITAM-PUTIH’ atau ‘ABU-ABU’? Berpikir secara normatif, sebagai orang yang memakai kacamata abu-abu: “semua ada baik dan buruknya“. Jika anda seorang pengguna kacamata hitam-putih, mungkin anda akan dengan cepat bisa mengatakan mana yang bagus/buruk. Apakah ’KEARIFAN’ bisa menjadi jawaban????????................. ^_^

Tidak ada komentar: