Rabu, 22 September 2010

MERAJUT BENANG KEARIFAN DALAM HIDUP

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dengan air muka muram. Anak muda itu tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, ia segera menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini dan katakan bagaimana rasanya …”, ujar Pak Tua itu. “Asin dan pahit. Pahit sekali,” jawab anak muda itu, sambil meludah ke lantai.

Pak Tua sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.” Saat anak muda itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya ?” “Segar,” sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu ?” tanya Pak Tua itu.

“Tidak,” jawab si anak muda. Dengan bijak Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu dan berkata, “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.”

Kepahitan itu didasarkan pada perasaan, tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. ”Lapangkanlah dadamu menerima semuanya …” Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat. “Hatimu adalah wadah itu .. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka telah belajar sesuatu yang penting hari itu.

Dalam kehidupan sehari-hari, hidup kita, tampaknya tidak pernah sepi dari yang namanya susah dan derita, keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan bahkan dalam pelayanan kita. Sekali waktu, mungkin kita sudah bekerja keras, berupaya seoptimal mungkin untuk membangun usaha, pekerjaan atau masa depan keluarga kita. Lalu tiba-tiba saja, ada orang menjahati kita, dan merampas semua kebahagiaan hidup kita. Hidup kita jadi morat-marit. Jangankan untuk keperluan yang lain, untuk makan pun susah. Belum lagi, biaya untuk anak-anak sekolah, bayar listrik, telepon, dan air. Kepala kita jadi pusing tujuh keliling. Keadaan kita, mungkin sama dengan si anak muda dalam cerita tadi. Sedih, kecewa, dan sakit hati, menghadapi pahit getirnya hidup ini. Akibatnya, hati kita jadi kosong dan hampa diperhadapkan pada kesulitan, keras dan kejamnya kehidupan ini. Bagaikan minum segelas air dengan segenggam garam. Kita tidak pernah menduga, bahwa prestasi, kerja keras kita selama bertahun-tahun akan dihancurkan dalam sekejab mata. Rumah pun tak pernah sepi dari pertengkaran dan kesalahpahaman. Namun kisah Pak Tua tadi, mengajak kita untuk mengubah paradigma atau cara berpikir kita. Caranya, dengan melapangkan dada. Menerima semua kenyataan, bahkan kepahitan hidup kita dengan berjiwa besar, dan tidak putus asa. Kita jadikan hati kita laksana telaga, yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi peluang atau kesempatan, yang akan membawa kebahagiaan bagi kita di masa depan.

Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar: